Kamis, 20 Oktober 2016

Cara Berbelanja di Lazada

Siapa yang tidak mengenal Lazada? Salah satu toko online terpercaya yang menjual berbagai kebutuhan. Mengapa saya bilang terpercaya? Karena sudah 3 kali saya berbelanja di sana, dan semuanya memuaskan serta aman. Bahkan saya pernah komplain, dan customer service-nya langsung memberikan respon dengan cepat. Jujur, ini respon tercepat yang saya terima terkait keluhan saya--mengingat saya juga sering berbelanja online di tempat lain, dan juga sering komplain. :D

Berikut saya akan sharing cara membeli barang di Lazada:
  • Pertama-tama, buka situs Lazada, lalu pilih salah satu barang yang akan dibeli. (Dalam contoh gambar yang disertakan, saya dalam posisi login. Akan lebih mudah jika kita login melalui akun Facebook atau akun Google)
  • Kemudian klik gambar barang yang akan kita beli. Misal, kita akan membeli ransel laptop.  Sebelumnya, kita perlu untuk memasukkan lokasi kita, atau lokasi ke mana barang akan dikirim. Dengan memasukkan lokasi, maka kita akan tahu berapa jumlah ongkos kirim.

  •  Klik "BELI SEKARANG"   

  • Kita akan dibawa pada halaman untuk mengkonfirmasi pemesanan.Setelah itu, klik "KONFIRMASI PEMESANAN"

  • Akan muncul halaman untuk pengisian alamat tujuan. Isikan alamat dengan lengkap berikut nomor handphone. Di sini kita juga akan mengetahui ongkos kirimnya. (Dalam contoh, ongkos kirimnya gratis). Lalu klik "LANJUTKAN"

  • Untuk metode pembayaran, bisa dipilih metode yang akan digunakan. Dalam contoh, saya menggunakan metode Bank Transfer, maka akan muncul pilihan bank. Lalu pilih salah satu, misal BNI, dengan Mobile Banking. Lalu klik "KONFIRMASI PESANAN"

  •  Setelah itu kita akan menerima konfirmasi dari Lazada seperti berikut:
  •  Konfirmasi juga akan kita terima melalui email, seperti ini:

  •  Setelah itu, segera lakukan pembayaran. Setelah melakukan pembayaran, tunggu sampai ada konfirmasi pembayaran dari Lazada ke email kita. (Dari pengalaman, saya melakukan pembayaran pada pukul 20.30 dan konfirmasi pembayaran dari Lazada masuk ke email saya pada pukul 22.04). Emailnya seperti ini:
  • Setelah itu tunggu barang sampai.

Minggu, 10 April 2016

Perempuan Difabel dan Kerentanannya

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pertemuan, saya tergelitik dengan komentar dari 2 orang perwakilan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang sudah sering berurusan dengan perempuan dan juga difabel.

"Bukankah sudah ada PPDI, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia? Mengapa masih ada HWDI, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia?" ungkap salah satu dari mereka.

"Saya juga heran, mengapa harus membuat yang baru jika isinya sama saja, tentang difabel. Kalau jadi satu akan lebih mudah dan inklusif," tambah yang lainnya.

Pernyataan yang konyol, menurut saya, karena dilontarkan oleh 2 perempuan yang mewakili SKPD yang semestinya memiliki perspektif yang baik tentang perempuan dan difabel.

Masalahnya bukan soal inklusif atau tidak inklusif. Tetapi soal keberadaan organisasi perempuan difabel. Tentang perempuan difabel.
image from: www[dot]chrc-ccdp[dot]gc[dot]ca
Perempuan difabel adalah pihak yang memiliki kerentanan ganda. Pertama, karena dia adalah perempuan; kedua, karena dia adalah difabel. Seseorang dengan jenis kelamin perempuan saja sudah rentan sebagai akibat budaya patriarki, ditambah lagi menjadi difabel. 

Perempuan difabel memiliki resiko lebih besar untuk mengalami kekerasan, cedera, pelecehan, penelantaran atau pengabaian, perlakuan buruk, ataupun eksploitasi. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Women's Aid, sebagaimana dimuat dalam situs resmi theguardian, satu dari empat perempuan mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga); untuk perempuan difabel, angka ini menjadi dua kali lipat. Bahkan menurut penelitian tersebut, satu dari dua perempuan difabel mengalami kekerasan dalam hidup mereka.

Perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan, apalagi kekerasan seksual, mengalami dampak yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan non-difabel. Bukan hanya dampak fisik, namun juga dampak psikologis. Belum lagi stigma dan anggapan dari masyarakat yang cenderung menyalahkan korban. Parahnya, mereka menyebut korban yang notabene adalah difabel, sebagai perempuan penggoda, yang sengaja memancin-memancing pelaku. Seolah-olah apa yang terjadi bukanlah suatu kekerasan, namun sebuah perbuatan yang dilandasi suka sama suka.Tentu saja situasi ini membuat korban semakin terpuruk. Dan dampak buruk tersebut bukan hanya dialami oleh korban, namun juga berimbas pada keluarga korban. Anggapan sebagai perempuan penggoda, berakibat pada pengucilan keluarga korban dalam masyarakat. Belum lagi jika kekerasan seksual tersebut menimbulkan KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan), maka bertambah pula beban ekonomi keluarga korban.

Korban haruslah diperlakukan sebagai korban; dalam artian, mendapatkan pertolongan dan penanganan yang tepat. Bukan hanya pemulihan fisik dan psikologis, namun juga reintegrasi sosial, dan akses  keadilan (access to justice). Dan penanganan perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan ini haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan ragam difabelnya. 

Kembali ke soal keberadaan organisasi perempuan difabel....

Siapa yang mengetahui tentang kebutuhan difabel? Jawab: difabel.... Siapa yang paling mengetahui tentang kebutuhan perempuan? Jawab: perempuan.... Lalu siapa yang paling mengetahui tentang perempuan difabel? Jawab: tentu perempuan difabel.

Andai saja semua perempuan difabel sudah dapat menikmati hak-hak asasi mereka, sudah tidak ada pelanggaran dan tidak ada diskriminasi, maka keberadaan organisasi perempuan difabel yang beranggota para perempuan difabel, (mungkin) sudah tidak diperlukan lagi. Organisasi perempuan difabel dan pergerakan-pergerakan perempuan difabel muncul karena belum semua perempuan difabel dapat menikmati hak-hak asasi mereka secara penuh. Hanya perempuan difabel yang paling mengetahui kebutuhan perempuan difabel.

Jadi, masihkah dipersoalkan lagi tentang keberadaan organisasi perempuan difabel??